Jumat, 01 Juli 2011

makalah poligami

I. PENDAHULUAN

Sesuai hakekat manusia yang membedakannya dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.

Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-sayarat terentu disebut perkawinan. Perkawinan ini disamping merupaka sumber kelahiran yang berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup bersama itu.

II. PEMBAHASAN

POLIGAMI

Poligami adalah sunnah para kekasih ALLAH: para Nabi, para Rasul, dan para wali. Karena itu, tentulah dalam poligami terdapat hikmah yang luar biasa. Tak mungkin ALLAH memerintahkan para kekasih-Nya untuk menzhalimi makhluk lain. Salah satunya adalah pendidikan. Tuhan ingin mendidik manusia untuk berlaku adil. Bukan mudah berlaku adil, tetapi adil adalah salah satu sifat taqwa (bahkan yang paling mendekati taqwa) yang WAJIB diusahakan.

Bagi sang suami, dia dilatih untuk bersikap adil dalam keluarga, terhadap 2, 3, atau ke-4 istrinya. Keadilan yang paling utama adalah adil dalam membawa keluarga untuk kenal Tuhan, cinta Tuhan dan takut Tuhan. Suami bertanggung jawab penuh dalam hal tersebut

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3).

Prosedur Perkawinan

  1. Pandangan agama Islam terhadap perkawinan antara agama

Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Menurut agama Islam, proses hubungan sexuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.

Arti perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya ialah “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.

Dalam pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah :

Segi ibadah

Perkawinan menurut agama islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.

Sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bahagian yang lain”

(H.R. Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)

2. Perkawinan Campuran

Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.


a. Sesuai dengan UU Yang Berlaku

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).



b. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU)

Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

c. Surat-surat yang harus dipersiapkan

Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:

a. Untuk calon suami

Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:

Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)

Fotokopi Akte Kelahiran

Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau

Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau

Akte Kematian istri bila istri meninggal

Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.

b. Untuk sebagai calon istri

Anda harus melengkapi diri anda dengan:

Fotokopi KTP

Fotokopi Akte Kelahiran

Data orang tua calon mempelai

Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan

d. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang.
Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.


e. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.

Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia

f. Konsekuensi Hukum

Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

MAKALAH AL ISLAM

(POLIGAMI)

Nama: Rezki Agutia Martin

Jurusan: Komunikasi (A)

NIM: 2010140032

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar